JURNALISHUKUM.COM – Munir Said Thalib, S.H. (8 Desember 1965 – 7 September 2004) adalah seorang aktivis hak asasi manusia Indonesia. Ia merupakan salah satu pendiri lembaga swadaya masyarakat Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Imparsial. Pada saat menumpangi Garuda Indonesia Penerbangan 974 dari Jakarta menuju Amsterdam pada bulan September 2004, ia dibunuh dengan cara diracuni menggunakan arsen. Ia merupakan pemenang Right Livelihood Award pada tahun 2000 bersama tiga orang lainnya.
Right Livelihood Award adalah penghargaan internasional untuk “mereka yang memiliki solusi praktis dan terbaik untuk permasalahan terpenting yang dihadapi dunia saat ini.” Penghargaan ini pertama kali dipersembahkan pada tahun 1980 oleh filantropis Jerman-Swedia Jakob von Uexkull dan dianugerahkan setiap tahun pada awal Desember.
Tim juri internasional yang diundang oleh lima anggota tetap dewan Right Livelihood Award memutuskan para pemenangnya di bidang pelestarian lingkungan, hak asasi manusia, pembangunan berkelanjutan, kesehatan, pendidikan, dan perdamaian.
Karier aktivisme
Selepas dari bangku kuliah, Munir memulai kariernya sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) cabang Surabaya selama dua tahun, sebelum pindah kembali ke Malang sebagai kepala pos LBH Surabaya di kota tersebut. dan menjadi Wakil Ketua bidang Operasional YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia).
Munir terlibat dalam menangani dan mengadvokasi beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru. Ia tercatat pernah menjadi penasihat hukum untuk keluarga tiga orang petani yang dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di proyek Waduk Nipah di Banyuates, Sampang dan keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.
KontraS
Pada tahun 1998, Munir ikut serta mendirikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Sebagai Koordinator Badan Pekerja KontraS, Munir ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM pada tahun 1997-1998 dan mahasiswa korban penembakan pada Tragedi Semanggi (1998). Ia juga berperan aktif mengawal dan mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).
Imparsial
Selepas tidak lagi menjadi pengurus di KontraS, Munir menjadi direktur Imparsial, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan atas HAM di Indonesia.
Film dokumenter (Dalam budaya populer).
Untuk memperingati satu tahun meninggalnya Munir, diluncurkan film dokumenter karya Ratrikala Bhre Aditya dengan judul Bunga Dibakar di Goethe-Institut, Jakarta Pusat, 8 September 2005. Film ini menceritakan perjalanan hidup Munir sebagai seorang suami, ayah, dan teman.
Munir digambarkan sosok yang suka bercanda dan sangat mencintai istri dan kedua anaknya. Masa kecil Munir yang suka berkelahi layaknya anak-anak lain dan tidak pernah menjadi juara kelas juga ditampilkan. Munir dibunuh pada era demokrasi dan keterbukaan serta harapan akan hadirnya sebuah Indonesia yang dia cita-citakan mulai berkembang. Semangat inilah yang ingin diungkapkan lewat film ini.
Sebuah film dokumenter lain juga telah dibuat, berjudul Garuda’s Deadly Upgrade hasil kerja sama antara Dateline (SBS TV Australia) dan Off Stream Productions.
Pada peringatan tahun kedua, 7 September 2006, di Tugu Proklamasi diluncurkan film dokumenter berjudul “His Strory”. Film ini bercerita tentang proses persidangan Pollycarpus dan fakta-fakta yang terungkap di pengadilan.
Penghargaan
Pada tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year.
Pada tahun 2000, Munir dianugerahi Right Livelihood Award bersama-sama Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson.
Pada tahun yang sama, majalah Asiaweek juga menobatkannya sebagai satu dari “20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru”.
Terakhir, ia memenangkan honourable mention pada Penghargaan Madanjeet Singh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan dari UNESCO.
Jurnalis Hukum : Heriyanto S.H.C.L.A/Sumber : Sahardjo.com