JURNALISHUKUM.COM – Hakikat pilkada atau pemilihan kepala daerah adalah suatu agenda demokrasi yang harus dilaksanakan untuk melakukan transformasi kepemimpinan bagi suatu daerah secara langsung oleh rakyat melalui mekanisme pemilihan secara langsung. Setiap kontestan yang maju tentu akan menggunakan berbagai cara baik itu cara konstitusional ataupun mungkin cara yang inkonstitusional dengan praktik korupsi.
Salah satu praktek dengan praktik korupsi yang dilakukan peserta pilkada adalah politik uang. Jika pada mulanya sudah dimulai dengan praktik korupsi, manipulasi, praktek politik uang untuk mengeruk suara, sebagaimana telah dijelaskan diatas, maka kelanjutannya sudah pasti dapat diduga praktek korupsi pada akhirnya menjadi bagian tak terpisahkan dari peserta pilkada.
Praktek korupsi benar-benar mengancam dalam kita bernegara dan berbangsa, sebab sendi-sendi kenegaraan kita akhirnya akan hancur oleh praktek kotor dalam pilkada. Korupsi dengan demikian jelas membahayakan dan harus dicegah agar pengisian jabatan kekuasaan itu tidak berlangsung secara koruptif pula.
Namun, upaya yang harus dilakukan dalam meminimalisir potensi praktek korupsi pilkada yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada yaitu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada (UU Pilkada) yang berkaitan langsung dengan pilkada sebagai esensial dari praktek korupsi pilkada harus disosialisasikan dengan maksimal, sehingga berdampak pada efektivitas pencegahan politik uang dalam setiap gelaran pilkada.
Terhadap praktek korupsi pilkada tidak dibenarkan dalam UU Pilkada, UU ini sangat progresif dalam menangani politik uang. Ancaman hukuman pidana tidak saja diberikan kepada pemberi, tapi juga penerima uang sama-sama bisa disanksi. Bagi pemberi diatur dalam Pasal 187 A ayat (1) yang menjelaskan setiap orang yang sengaja memberi uang atau materi sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal Rp 1 miliar.
Sementara bagi penerima juga mendapat ancaman pidana yang sama sebagaimana diatur pada Pasal 187 A ayat (2), kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum, menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Selain itu, UU Pilkada dinilai progresif karena subjeknya adalah siapa saja yang melakukan, sehingga hal ini dapat mempermudah penegakan sanksi. Subjeknya lebih setiap orang, jadi siapapun yang melakukan politik uang, siapapun yang memberi, bisa dijerat. Pasal ini diharapkan dapat menekan praktek politik uang di lapangan, karena sebyeknya bukan hanya tim kampanye, tapi siapa saja yang melakukan.
Tetapi realitanya, ada beragam cara untuk melakukan praktek korupsi pilkada, yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) sumbangan dari para bakal calon kepada parpol yang telah mendukungnya, atau (3) “sumbangan wajib” yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai Bupati atau Walikota.
Menurut Ramlan Surbakti (2015), mencatat bahwa peluang munculnya praktek korupsi pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu”, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar.
Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima.
Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah.
Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui “perantara politik” yang ditunjuknya di setiap desa.
Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui “perantara politik” di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan ”rasional” bagi pasangan calon.
Pertanyaan kemudian, kenapa substansi hukum dalam UU Pilkada yang sudah sangat progresif tetapi fakta di lapangan masih banyak praktek korupsi pilkada? hal ini disebabkan UU ini tidak tersosialisasikan secara maksimal kepada pemilih. Dari data penelitian terungkap sebanyak 92,3 persen masyarakat tidak mengetahui tentang UU No.10 Tahun 2016. (Luki Sandra Amalia, 2016). Dimana praktek korupsi pilkada terjadi lantaran tidak ada definisi yang jelas dan kelonggaran peraturan.
Dalam Undang-Undang Pemilu tidak ada definisi praktek korupsi pilkada dan politik uang. Adapun, Pasal 71 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 4 Tahun 2017 dan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyebutkan partai politik atau gabungan partai politik, pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih.
Hal ini ditegaskan Harkristuti Harkrisnowo (2017), ketentuan dan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung dinilai masih terlalu longgar sehingga belum bisa menjerat para pelaku politik uang (money politics) dengan hukuman yang setimpal.
Dengan Undang-undang yang masih mempunyai banyak celah yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk melakukan kecurangan, termasuk praktek politik uang.
Akibatnya, indikasi praktek korupsi pilkada oleh seorang calon kepala daerah bisa dengan mudah dipatahkan dengan alasan si pemberi materi atau uang bukanlah calon kepala daerah yang bersangkutan atau tim suksesnya.
Hal inilah yang dimanfaatkan oleh tim kampanye masing-masing pasangan calon untuk melakukan praktek korupsi pilkada dengan dalih memberikan uang makan dan pengganti transport bagi masyarakat yang datang dalam pertemuan tatap muka.
Maraknya perilaku praktek korupsi pilkada yang notabene menodai demokrasi terjadi seiring transisi demokrasi di Indonesia. Dalam situasi transisi seperti ini, pergumulan kebiasaan dan cara pandang lama dengan kebiasaan dan cara pandang baru yang diharapkan tentu tidak bisa serta merta terwujud dalam kondisi yang ideal.
Terjadinya percampuran elemen-elemen demokrasi dengan elemen non demokrasi menjadi sesuatu yang tidak terbantahkan sehingga hakikat pilkada belum bisa terjadi secara sempurna, Larry Diamond (2003), menyebutkan ini dengan istilah demokrasi semu (pseudodemocracy) dan politik uang (money politics) menjadi salah satu preseden buruk dalam mencapai demokrasi yang hakiki. Politik uang ini ibarat hembusan angin, terasa tapi tidak terlihat.
Indikasi terus terjadinya praktek korupsi pilkada dalam setiap pemilihan menandakan penindakan terhadap persoalan ini sangat pelik. Praktek korupsi pilkada terjadi karena adanya “kesepakatan” antara pemberi dan penerima.
Uang merupakan salah satu faktor penting dalam upaya menciptakan keseimbangan demokrasi, namun disisi lain juga bisa menjadi kondisi yang sebaliknya Ketika pemanfaatan uang tidak dilakukan secara tepat sesuai dengan aturan yang berlaku.
Dalam konteks ini uang dijadikan sebagai alat untuk jual beli suara yang dilakukan oleh oknum-oknum yang mengincar sebuah posisi kekuasaan. Bagi pihak yang memiliki ketercukupan uang mereka menggunakannya untuk meraih kekuasaan dengan berbagai cara, di lain pihak bagi yang tidak memiliki uang mereka melakukan berbagai praktek-praktek illegal untuk mendapatkan uang.
Fenomena diatas, memberikan pesan kepada kita bahwa permasalahan praktek korupsi pilkada tidak hanya bisa diselesaikan dengan seperangkat aturan yang melingkupinya, tetapi juga harus dibarengi dengan prinsipnya deontologi yang menekannkan motivasi, kemauan baik, dan watak yang kuat dari pemilih yang intinya bermuara pada aspek moralitas yang memberi andil besar dalam mencegah praktek-praktek kotor yang seolah biasa terjadi dalam pilkada.
Faktanya, menjadi tidak efektif dari substansi hukum UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada telah memberikan hukuman yang berat terhadap pelaku dan penerima politik uang sebagai perilaku praktek korupsi pilkada.
Dimana contoh kasus sering terjadi dalam pelaksanaannya politik uang disamarkan dengan cost politik yakni, pengganti akomodasi saat kampanye, sembako yang disamarkan dengan souvenir kampanye, dan pembelian suara yang disamarkan dengan penggantian akomodasi saksi.
Karena itu, evaluasi terhadap substansi hukum UU No. 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang berkaitan dengan penindakan praktek korupsi pilkada harus terus dilakukan sehingga bisa memberikan efek jera bagi para pelakunya. Disisi lain, pendidikan politik masyarakat juga harus terus diedukasi agar hadir pemahaman dan kedewasaan dalam berpolitik yang pada akhirnya akan menciptakan iklim demokrasi yang kondusif yang tidak mentolerir segala bentuk dan modus praktek korupsi dan politik uang di pilkada. (Fokus)