https://dashboard.mgid.com/user/activate/id/685224/code/68609134aa79c3b5cb0177965d610587
Nah..!!! Ratusan Perangkat Desa Batang Hari Akan Adakan Aksi Solidaritas Tuntut Hak Gaji Luar Biasa..!!!Kejagung RI Sita Uang Ratusan Miliar dalam Perkara PT Duta Palma Korporasi LP Kelas IIB Muara Bulian Sediakan Sarana Asimilasi dan Edukasi untuk Tingkatkan Kualitas Pembinaan Warga Binaan Wakapolri Nyatakan, Jurnalis Tidak Bisa Di Jerat UUD ITE Banyak Kabel Udara Tidak Miliki Izin Dan Tidak Melapor ke APJII Jambi,
LBH-LKM Bersipat Sosial dan Kemanusian Dalam Memberikan Bantuan Hukum Kepada Masyarakat di Indonesia. Boleh Konsultasi Hukum Gratis Disini dan KLIK Logo di Bawah Ini Ya..!!!

Home / Politik

Kamis, 24 April 2025 - 05:43 WIB

Politik Indonesia : Dari Logika Mistika ke Logika Logistika

JURNALISHUKUM.COM – Politik Indonesia telah mengalami pergeseran paradigma yang signifikan sejak era kemerdekaan hingga masa reformasi. Jika pada awal kemerdekaan (1945–1960), Tan Malaka memperkenalkan “logika mistika”—sebuah pemikiran politik yang berakar pada semangat revolusioner dan idealisme kerakyatan—maka di era kontemporer (terutama pasca-Reformasi 1998), politik Indonesia justru didominasi oleh “logika logistika”, di mana kekuatan finansial menjadi penentu utama kemenangan elektoral.

Pertanyaannya adalah: Bagaimana transformasi dari politik berbasis ideologi menuju politik berbasis transaksi material ini terjadi? Apa implikasinya terhadap masa depan demokrasi Indonesia?

Logika Mistika: Warisan Pemikiran Tan Malaka

Logika Mistika Tan Malaka bukanlah mistisisme irasional, melainkan sintesis antara rasionalitas revolusioner dan spiritualitas perjuangan.

Dalam “Madilog” (1943), ia menolak dogmatisme buta dan menekankan pentingnya pemikiran kritis, tetapi juga percaya bahwa perjuangan politik memerlukan “jiwa” yang melampaui logika formal.

Pada masa awal kemerdekaan, semangat ini terwujud dalam gerakan anti-kolonial yang mengutamakan solidaritas rakyat.

Namun, mengapa ‘logika mistika’ tidak bertahan? Salah satu penyebabnya adalah “fragmentasi elite pasca-Revolusi”, di mana kelompok-kelompok politik saling berebut kekuasaan tanpa konsensus ideologis yang kuat. Soekarno mencoba mempertahankannya melalui *Nasakom*, tetapi upaya ini gagal akibat konflik politik 1965.

Logika Logistika: Politik Uang dan Oligarki
Pasca-Reformasi 1998, demokrasi Indonesia dirayakan sebagai kemenangan rakyat.

Namun, dalam praktiknya, sistem elektoral justru dikendalikan oleh ‘logika logistika’ sebuah mekanisme di mana kekuatan politik diukur dari kemampuan finansial untuk membeli dukungan.

Beberapa indikatornya:

1. Money Politics: Calon legislatif dan eksekutif mengalokasikan dana besar untuk “serangan fajar” atau bagi-bagi sembako.
2. Oligarki Elektoral: Partai politik dikuasai oleh segelintir orang kaya yang memanfaatkan jabatan untuk mengamankan kepentingan ekonomi.
3. Komodifikasi Suara: Rakyat tidak lagi memilih berdasarkan program, melainkan imbalan material.

BACA JUGA  Anwar Usman Diberhentikan dari Ketua MK karena Pelanggaran Berat

Laporan Transparency International Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 67% pemilih di daerah pedesaan menerima “bantuan” dari calon.

Sementara itu, ‘Indonesia Corruption Watch (ICW)’ mencatat peningkatan kasus korupsi politik pasca-Pemilu 2024.

Dampak terhadap Demokrasi
Logika logistika menggerus esensi demokrasi dengan cara:

-Mematikan Partisipasi Rasional: Pemilih tidak lagi kritis karena tergiur oleh transaksi jangka pendek.
– Meminggirkan Kader Ideologis: Tokoh-tokoh berbasis gagasan sulit bersaing dengan politikus bermodal tebal.
– Memperkuat Oligarki: Kekuasaan terkonsentrasi pada elite ekonomi yang menggunakan politik sebagai bisnis.

Jika kondisi ini terus berlanjut, demokrasi Indonesia akan menjadi “prosedural belaka’—sebatas ritual elektoral tanpa substansi.

Solusi: Mungkinkah Kembali ke Logika Rasional? Untuk membendung ‘logika logistika’, diperlukan:

1. Reformasi Pendanaan Politik: Transparansi anggaran kampanye dan pembatasan donasi korporat.
2. Pendidikan Politik: Membangun kesadaran pemilih akan hak-hak substantif, bukan sekadar imbalan materi.
3. Penegakan Hukum: Sanksi tegas bagi pelaku politik uang, termasuk pembekuan partai yang terlibat.

Penutup

Transformasi dari ‘logika mistika’ ke ‘logika logistika’ mencerminkan degradasi politik Indonesia dari perjuangan ideologis menuju transaksi kapitalistik.

Jika tidak ada intervensi sistematis, demokrasi kita akan terus menjadi permainan elite, bukan lagi ruang kedaulatan rakyat. ‘Pertanyaannya sekarang: Mau dibawa ke mana demokrasi Indonesia jika uang tetap menjadi raja?’

Deepseek dari Sambutan Anas Urbaningrum, Presiden Pimnas PPI

Share :

Baca Juga

Politik

Usai dilantik, Pj Bupati Iskandar Ajak Masyarakat Nagan Raya Sukseskan Pilkada 2024

Politik

Yohanis Manibuy Gelar Doa Syukur Atas Suksesnya Penjemputan dan Pendaftaran di KPUD Teluk Bintuni

Politik

Bawaslu Teluk Bintuni Tegaskan Isu Pemaksaan Pemasangan Baliho Yohanis Manibuy-Joko Lingara di Sidomakmur Hoaks

Politik

Apresiasi Polda Jambi, IWO Siap Antisipasi Hoax di Pilkada Serentak 2024

Politik

Kemenangan di Depan Mata, 18 Posko YOJOIN Kepung Distrik Babo

Cerita Rakyat

Begini Pesan Kapolda Jambi Saat Lepaskan Ribuan Personel Untuk Pengamanan TPS

Politik

Paslon YO JOIN Unggul Di Pilkada Teluk Bintuni Dari Tiga Lembaga Survey Nasional

Politik

Amsori Kades Pandan Makmur-Geragai Siap Maju DPRD Dapil 3 Tanjabtim
error: Content is protected !!