JURNALISHUKUM.COM – Pada pesta demokrasi akbar bagi rakyat Indonesia akan dilangsungkan pada 14 Februari 2024 melalui Pemilihan Umum (Pemilu) Serentak. Hari pemungutan suara itu dihelat bersamaan dengan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) serta Pemilu Legislatif (Pileg) untuk memilih anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan anggota DPD RI.
Sementara, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota diselenggarakan serentak di seluruh daerah pada 27 November 2024.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri telah menetapkan 18 partai politik (parpol) nasional dan 6 partai politik lokal yang akan berpartisipasi pada Pemilu 2024.
Presiden Jokowi menilai, bahwa apabila dibandingkan dengan pelaksanaan Pemilu-Pemilu sebelumnya yang telah diselenggarakan di Tanah Air, maka ajang Pemilu 2024 ini memang menjadi sebuah ajang yang jauh lebih besar.
Untuk itu, dirinya juga mengingatkan kepada seluruh pihak untuk bisa terus berhati-hati dalam pelaksanaannya (Alexander Yosua Galen,2023-radarsampit.jawapos.com).
Sudah 25 tahun Indonesia berada di era reformasi. Namun, konflik yang selalu muncul dalam Pemilu sudah tak asing lagi di dengar oleh telinga rakyat.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai mahalnya biaya politik saat ini menjadi konsekuensi logis dari sistem demokrasi langsung, yakni one man one vote. Calon pemimpin yang ingin mendapatkan dukungan suara mayoritas melakukan mobilisasi pemilih dengan logistik yang menjadi alat transaksi politik (Arga Sumantri,2023-medcom.id).
Apalagi isu panas yang bergulir di masyarakat mengenai perdebatan yang memunculkan pro dan kontra terkait dengan proporsional Pemilu terbuka atau tertutup. Mengenai hal tersebut Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim menilai bahwa sistem proposional tertutup maupun terbuka dalam pelaksanaan Pemilu 2024 tetaplah bisa menjadi sebuah sistem yang tidak ideal, selama didalamnya masih ada saja praktik ongkos politik (Alexander Yosua Galen,2023- radarsampit.jawapos.com).
Jika sitem proporsional tertutup yang diterapkan, maka kecendrungan permainan politik uang akan dilakukan dan terjadi pada elite partai. Sedangkan sistem proporsional terbuka dilakukan maka bisa saja terjadi praktik demikian pada level pemilih.
Namun, pada aspeknya momen Pemilu menjadi momen yang dinantikan secara khusus oleh ‘sebagian’ rakyat. Hampir sama gairahnya seperti menyambut ‘lebaran’ tiba, yakni bergairah menantikan tunjangan.
Didalam politik biasa dikenal dengan ongkos politik. Dan harus diakui bahwa persoalan ongkos politik ini merupakan penyakit kronis yang masih sulit dacari obatnya.
Memilih pemimpin berdasarkan berapa banyak transaksi politik yang dikeluarkan akan sangat mempengaruhi suara para calon pemimpin. Karena mahalnya biaya politik juga kerap dikaitkan dengan praktik untuk “membeli” suara pemilih.
Praktik politik uang dalam sistem pemilihan yang ada pada saat ini, dengan tingkat persaingan perebutan suara yang begitu kuat, menjadi begitu lumrah untuk dilakukan.
“Seandainya sistem politik kita mampu menghadirkan calon pemimpin yang sesuai dengan selera dan hati rakyat, saya kira ongkos politik ini bisa ditekan,” ungkap analis politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Idealnya memang ongkos politik bisa ditekan kalau para elite ini mampu menciptakan satu calon yang kemudian dianggap layak, berkompeten, berkapasitas, gagasan dan narasi politiknya bisa di terima rakyat tanpa harus disuap dengan uang.
Akan tetapi, yang menjadi problematikanya nyaris tidak ada calon pemimpin yang visi misi dan orientasi politiknya di nikmati rakyat. Bahkan pemimpin yang terpilih nantinya kemungkinan bukanlah orang yang berkualitas, tidak memiliki kompetensi pengetahuan dan kemampuan dalam membangun daerah.
Jika yang terpilih adalah mereka yang banyak mengeluarkan uang untuk kegiatan politik mereka, maka kemungkinan berpotensi akan merampas atau mengkorupsi uang negara yang dikelolanya sebagai ganti modal yang telah dikeluarkan.
Kemungkinan besar juga para pemimpin yang terpilih akan lebih mementingkan kepentingan pribadinya dibandingkan kepentingan rakyat.
“Momen Pemilu menjadi saat yang tepat kita gunakan untuk menentukan suara atau pilihan kepada calon yang dianggap layak dan berkompeten untuk mengemban amanah rakyat, baik level Pilpres, Pilgub, Pilkada, juga Pileg.” Ujar M.Zainul Arifin, ST.
TOLAK MONEY POITIC, PUTUS RANTAI BELENGGU
Telah dipahami, bahwa berbagai jenis korupsi adalah turunan dari politik uang. Maka dari itu, memberantas korupsi di Indonesia tidak akan tuntas jika politik uang sebagai induknya korupsi tidak dapat diatasi.
Pendidikan antikorupsi menjadi penting agar masyarakat dapat menolak ongkos politik. Dengan penolakan tersebut, harapannya rantai korupsi yang membelenggu negeri ini bisa putus.
“Jika KPK dan aparat penegak hukum lainnya bisa memotong mata rantai korupsi politik, maka nyaris sekitar 66-70 persen korupsi bisa dicegah atau dikurangi secara signifikan,” kata Wuryono Prakoso, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, kepada ACLC.
Maka dari itu, rakyat harus cerdas dan bijak dalam memilih pemimpin. Rakyat harus memiliki kesadaran diri yang tinggi terhadap dampak buruk dari ongkos politik ini. Pilihlah sesuai dengan hati nurani masing-masing.
Jangan sampai terlena dengan ongkos politik yang diberikan. Karena, sama saja kita mempertaruhkan nasib selama lima tahun dengan menjual suara yang harganya sangat murah.
LAKUKAN MONEY POLITIC TERANCAM 3 TAHUN PENJARA
Dilansir dari kompas.com Perorangan atau individu yang pada hari atau saat pemungutan suara sengaja melakukan politik uang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam pemilihan umum (Pemilu) dan terancam hukuman penjara selama 3 tahun.
Sanksi bagi orang yang melakukan politik uang dalam Pemilu 2024 tercantum dalam Pasal 515 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,” demikian isi Pasal 515 UU Pemilu.
Sedangkan ancaman pidana bagi perorangan atau individu yang melakukan politik uang pada hari pemungutan suara tercantum dalam Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu.
“Setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00,” demikian isi Pasal 523 Ayat (3) UU Pemilu.
Semua elemen bangsa harus berjalan secara sinergi dan mengesampingkan egoisme. Dengan demikian, bukan hanya Ongkos Politik saja yang bisa diatasi, melainkan juga problematika lainnya juga bisa dihindari.
Serta terselenggaranya pesta demokrasi Pemilu pada tahun 2024 mendatang memang harus terus dilakukan dengan jujur dan adil, sehingga seluruh pihak diimbau untuk secara bersama-sama mampu terus mendorong agar praktik politik uang dihilangkan dalam segala ajang pesta demokrasi demi menegakkan asas keadilan dan demokratisasi menjadi jauh lebih baik di Indonesia.
Penulis : RATU AYU Mahasiswa Prodi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Syariah UIN STS Jambi
Editor Jurnalis Hukum : Heriyanto S.H.,C.L.A