JURNALISHUKUM.COM – Deburan air itu tampak ganas dan menyeramkan. Posisinya tepat berada di belokan sungai Batanghari yang membentuk sebuah tanjung, menjorok ke arah timur.
Di sisi sebelahnya, di hilir sungai terdapat pula deburan air seolah-olah menunjukkan awal dan akhir tanjung yang berbentuk seperti sepatu kuda. Di tengah-tengah tanjung itulah berdiri sebuah dusun yang bernama dusun Mersam.
Dusun Mersam sendiri sejak tahun 1979 sudah menjadi nama sebuah kecamatan di kabupaten Batang Hari, Jambi. Secara adat, dusun Mersam berada di wilayah Marga Kembang Paseban. Merujuk pada pasebanan yang berarti tempat bermusyawarah dari beberapa Marga di antaranya Marga VII Koto, IX Koto dan Marga Jebu.
Sampai sekarang gedung tempat permusyawaratan dan persidangan tersebut masih berdiri di Kelurahan Kembang Paseban.
Secara administrasi Mersam mengikuti Piagam Hutan Tanah Mersam yang dibuat oleh Sultan Agung Seri Inga Dilaga pada tahun 1276 H, bertepatan dengan tahun 1859 M. Ia berbatasan dengan Marga Muaro Sebo Ulu di hulu dan Muaro Tembesi di sebelah hilir.
Robi Febriansyah mengutip dari Nurasikin menulis bahwa nama Mersam merupakan gabungan dari kata imbuhan ‘me’ dan ‘resam’ yang merujuk pada tanaman resam yang kokoh. Kata ‘meresam’ merujuk kepada filosofi masyarakat Mersam yang kokoh dalam menjalankan adat serta budi pekerti luhur.
Lain halnya menurut Hasan bin Ismail Batoe, seorang pemuka adat Mersam mengatakan bahwa Mersam diambil dari kata masam (beringasan). Menurutnya orang Mersam itu beringas karena memiliki banyak pendekar silat.
Pendapat ini seusai dengan jabatan Marga XII Koto yang juga terkadang diidentifikasikan kepada Marga Kembang Paseban bertugas sebagai keamanan negeri. Setiap tahun mereka berpatroli di sungai Batanghari dari Mersam ke hilir, yaitu ke Negri Jambi.
Namun, jawaban tersebut terlalu filosofis, yang agaknya kurang identik dengan kebiasan masyarakat Melayu Jambi yang banyak menamai suatu tempat berdasarkan nama alam seperti sungai, gunung, atau pohon seperti Sungai Baung, Lubuk Resam, Bukit Kemuning dan lainnya.
Di dalam legenda disebutkan bahwa Mersam berasal dari kata Muaro Sungai Resam yang lambat laun berubah menjadi Mersam. menurut legenda tersebut ada tiga orang kakak-beradik yang berperahu ke hilir sungai Batanghari untuk membuka lahan.
Ketiga kakak-beradik tersebut singgah di daerah Mersam sekarang lalu membuka lahan di sana. Suatu ketika mereka berselisih paham dan memutuskan untuk berpisah. Adik pertama melanjutkan perjalanan ke hilir, adik kedua kembali ke tempat asalnya dan yang tertua melanjutkan membuka lahan.
Sebagai penanda mereka menamai daerah tersebut sebagai dusun Muaro Sungai Resam karena di sana terdapat muaro sungai yang banyak ditumbuhi tumbuhan resam. Hingga sekarang sungai tersebut masih ada. Oleh masyarakat sungai tersebut disebut sungai Mersam.
Agaknya kisah legenda di atas sesuai dengan catatan-catatan pertama Hindia Belanda tentang nama-nama dusun di Kesultanan Jambi. Selama menguasai Negri Jambi di kota Jambi, Belanda sering menyusuri hulu sungai Batanghari dalam rangka ekspedisi. Walaupun pada masanya ekspedisi tersebut menuai banyak perlawanan dari rakyat hulu Jambi tapi, sekarang memberikan manfaat yang besar untuk penulisan sejarah Jambi.
Di antara catatan-catatan tersebut adalah Jurnal Geografi Masyarakat tahun 1876. Jurnal tersebut mencatat nama-nama dusun dari Muaro Kumpeh sampai Muaro Tebo, di antaranya dusun Mersam dengan Moeara Resam. Dusun Moeara Resam diapit dusun Sekati di sebelah hulu dan Oedjong Tandjoeng di sebelah hilir.
Uniknya pada awal-awal abad dua puluh Belanda sudah menggunakan kata Mersam untuk mengidentifikasi wilayah Marga Kembang Paseban itu. Hal tersebut dapat dilihat pada surat kabar Bataviaasch edisi 13 Juli 1906.
Catatan tentang dusun Mersam selanjutnya terus ditulis ‘Mersam’ sebagaimana Tideman tahun 1938 dalam Djambi yang menulis bahwa pada tahun 1933 sudah terdapat sebuah madrasah di Mersam.
Lalu sejak kapan nama dusun Muaro Resam berubah menjadi Mersam?
Jika melihat rentang waktu antara catatan tahun 1876 hingga tahun 1906 maka rasanya tidak mungkin perubahan tersebut terjadi. Karena dari tahun 1876 hingga 1906 adalah waktu yang sangat singkat dan masih berada dalam satu hingga dua generasi, di mana perubahan bahasa tidak akan banyak terjadi.
Saya menduga masyarakat Mersam sudah menyebut ‘Meresam’ sejak dahulu, jauh sebelum ekspedisi Belanda. Sehari-hari mereka memperkenalkan diri sebagai orang Meresam.
Kendati begitu, mereka masih sadar bahwa Meresam adalah sebutan cepat dari dusun Muaro Resam. Sehingga ketika Belanda bertanya nama dusun, masyarakat menyebutkan Muara Resam. Lambat laun kata ‘Meresam’ berubah tulisannya menjadi Mersam. Walaupun oleh masyarakat Mersam tetap menyebutnya Meresam.
Ketika pengetahuan dan pengalaman orang Belanda tentang wilayah Jambi semakin banyak, mereka akhirnya menulis dusun Muaro Resam sesuai dengan dialek masyarakat yaitu Mersam. Catatan-catatan Belanda itu kemudian diserap oleh bidang administrasi Negara Indonesia sehingga nama Muaro Resam semakin pudar dan hilang dalam ingatan masyarakat.
Sumber : Ubaidillah Warga Jambi