JURNALISHUKUM.COM , BANTEN – Badik yang telah meradang dari sarangnya, pantang pulang sebelum menemukan sarang berlabuh.
Keris Melayu yang terhanus, memilih berkalang tanah ketimbang bertekuk lutuk di Duli Tuan yang zalim.
Tanjung Harapan sudah menandai monumen sejarah keperkasaan leluhur, malu terkubur di kampung halaman sendiri.
Itulah sebabnya perahu enggan pulang ke rumah, jika santapan tak membahagiakan keluarga dan saudara.
Kalah dihantam badai itu tanda keperkasaan, jadi aib keturunan bila menyerah. Sebab hidup memang suatu pertarungan dan pertaruhan.
Badik dan keris bukan penghias pinggang, semua penjaga harga diri agar tak mereka curi atau dirampas dengan licik
Hidup sekali, setelah itu mati, kata Chairil Anwar. Pedang dikanan keris di kiri, itu pertanda tak ada cerita mundur, meski harus gugur.
Menang atau kalah tiada lagi menjadi masalah. Sebab yang utama adalah kukuh menggenggam petuah dan amanah lrluhur, tiada ada istilah menyerah, meski harus kalah.
Bisik heroik Tjut Nya Dhien adalah mas kawin dari leluhur demi kesaksian di bumi yang pasti didengar sampai ke langit.
Ibarat perahu retak, biar pecah sekalian bersama ombak yang harus kita taklukkan. Sebab Tuhan selalu menonton konsistensi dan kegigihan kita menjalani segala cobaan-Nya.
Jurnalis Hukum : Heriyanto S.H.,C.L.A